Rabu, 27 Juli 2011

MATA UANG JEPANG

SEJARAH MATA UANG

Uang yang kita kenal sekarang ini telah mengalami proses perkembangan yang panjang. Pada mulanya, masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha memenuhi kebutuhannnya dengan usaha sendiri. Manusia berburu jika ia lapar, membuat pakaian sendiri dari bahan-bahan yang sederhana, mencari buah-buahan untuk konsumsi sendiri; singkatnya, apa yang diperolehnya itulah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya. Perkembangan selanjutnya mengahadapkan manusia pada kenyataan bahwa apa yang diproduksi sendiri ternyata tidak cukup untuk memenuhui seluruh kebutuhannya. Untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri, mereka mencari orang yang mau menukarkan barang yang dimiliki dengan barang lain yang dibutuhkan olehnya. Akibatnya muncullah sistem'barter'yaitu barang yang ditukar dengan barang.
Namun pada akhirnya, banyak kesulitan-kesulitan yang dirasakan dengan sistem ini. Di antaranya adalah kesulitan untuk menemukan orang yang mempunyai barang yang diinginkan dan juga mau menukarkan barang yang dimilikinya serta kesulitan untuk memperoleh barang yang dapat dipertukarkan satu sama lainnya dengan nilai pertukaran yang seimbang atau hampir sama nilainya. Untuk mengatasinya, mulailah timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan benda-benda tertentu untuk digunakan sebagai alat tukar. Benda-benda yang ditetapkan sebagai alat pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima oleh umum (generally accepted) benda-benda yang dipilih bernilai tinggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau benda-benda yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari; misalnya garam yang oleh orang Romawi digunakan sebagai alat tukar maupun sebagai alat pembayaran upah. Pengaruh orang Romawi tersebut masih terlihat sampai sekarang: orang Inggris menyebut upah sebagai salary yang berasal dari bahasa Latin salarium yang berarti garam.
Meskipun alat tukar sudah ada, kesulitan dalam pertukaran tetap ada. Kesulitan-kesulitan itu antara lain karena benda-benda yang dijadikan alat tukar belum mempunyai pecahan sehingga penentuan nilai uang, penyimpanan (storage), dan pengangkutan (transportation) menjadi sulit dilakukan serta timbul pula kesulitan akibat kurangnya daya tahan benda-benda tersebut sehingga mudah hancur atau tidak tahan lama.
Kemudian muncul apa yang dinamakan dengan uang logam. Logam dipilih sebagai alat tukar karena memiliki nilai yang tinggi sehingga digemari umum, tahan lama dan tidak mudah rusak, mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan mudah dipindah-pindahkan. Logam yang dijadikan alat tukar karena memenuhi syarat-syarat tersebut adalah emas dan perak. Uang logam emas dan perak juga disebut sebagai uang penuh (full bodied money). Artinya, nilai intrinsik (nilai bahan) uang sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum pada mata uang tersebut). Pada saat itu, setiap orang berhak menempa uang, melebur, menjual atau memakainya, dan mempunyai hak tidak terbatas dalam menyimpan uang logam.
Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul suatu anggapan kesulitan ketika perkembangan tukar-menukar yang harus dilayani dengan uang logam bertambah sementara jumlah logam mulia (emas dan perak) sangat terbatas. Penggunaan uang logam juga sulit dilakukan untuk transaksi dalam jumlah besar sehingga diciptakanlah uang kertas
Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai alat/perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya. Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertas-bukti' tersebut sebagai alat tukar.
 SEJARAH MATA UANG JEPANG
Yen adalah mata uang Jepang. Simbol: ¥; atau dalam bahasa Jepang: en (?).
Pemerintah Jepang menetapkan mata uang Yen sejak 27 Juni 1871 berdasarkan Shinka jōrei (peraturan pemerintahan tentang mata uang baru). Sebagai lambang digunakan tanda ¥ dan menurut ISO 4217 dilambangkan sebagai JPY. Bila ditulis dengan romaji menjadi Yen dan bukan En, karena di akhir zaman Keshogunan Tokugawa, aksara katakana エ (e) dibaca sebagai "je". Pada waktu itu, kota Edo ditulis sebagai "Yedo", Pulau Ezo sebagai "Yezo", dan Ebisu ditulis sebagai "Yebisu".
Ada beberapa penjelasan tentang asal-usul penggunaan aksara kanji en (?, lingkaran) untuk menulis lambang mata uang Jepang. Salah satunya adalah tradisi orang Jepang melambangkan uang dengan lingkaran yang dibentuk dari jari telunjuk dan ibu jari. Ōkuma Shigenobu mengatakan semua orang Jepang pasti tahu bahwa aksara kanji untuk "lingkaran" berarti uang. Penjelasan lain mengatakan uang logam bentuknya bundar, sehingga aksara kanji untuk lingkaran digunakan untuk menyebut uang. Pada waktu itu di Hong Kong dikeluarkan uang logam bertuliskan Hong Kong ichi en (香港壱圓?), dan ditiru pemerintah Jepang yang memakai aksara kanji 圓 untuk melambangkan mata uang Jepang, namun menggunakan aksara kanji bentuk baru.
Satuan mata uang Jepang sebelum tahun 1953:
  • sen (銭): 1/100 dari 1 Yen (¥1 = 100 sen)
  • rin (厘): 1/1000 dari 1 Yen (1 sen = 10 rin, ¥1 = 1000 rin)
Berdasarkan undang-undang pengaturan mata uang 1953, pemakaian satuan sen dan rin tidak dilarang menurut hukum, tapi secara praktik tidak dipakai lagi. Di zaman sekarang, satuan sen dan rin hanya disebut-sebut dalam bursa saham dan kurs valuta asing.